Aku terbangun seperti biasa. Menatap handphone beberapa
lama lalu melirih diam-diam ke arah jam. Menatap langit-langit kamar yang sama.
Letak lemari, meja belajar, dan rak buku juga masih sama. Tak ada yang berbeda
disini. Aku masih bernapas, jantungku masih berdetak, dan denyut nadiku masih
bekerja dengan normal. Memang, semua terlihat mengalir dan bergerak seperti
biasa, tapi apakah yang terlihat oleh mata benar-benar sama dengan yg dirasakan
oleh hati.
Metaku berkunang-kunang, pagi tadi memang sangat dingin. Aku
menarik selimut dan membiarkan wajahku tenggelam di sana. Dan, tetap saja tak
kutemukan kehangatan, tetap menggigil aku sendirian. Dengan kehangatan yang
masih menempel dalam sudut-sudut luas otak, seakan membekukan kinerja hati. Aku
berharap semua hanya mimpi, dan ada seseorang yang secara sukarela membangunkanku
atau menampar wajahku sangat keras, sungguh, aku ingin tersadar dari bayang-bayang yang terlalu sering kukejar.
Sekali lagi, aku masih sendiri, bermain dengan masa lalu yg sebenarnya tak
pernah ku ingat lagi.
Sudah tanggal 1. Seberapa pentingkah tanggal satu? Ya….memang
tidak penting bagi siapapun yang tak mengalami hal spesial di tanggal itu. Kita
masuk ke bulan oktober. Bulan yang baru. Harapan baru. Mimpi yang baru. Cita-cita
baru. Juga kadang, tak ada yang baru. Aku hanya ingin kau tau, tak semua yang
baru menjamin kebahagiaan. Dan. Tak semua yang disebut masa lalu akan
menghasilkan air mata. Aku begitu yakin pada hal itu, sampai pada akhirnya aku
tahu rasanya perpisahan. Aku tahu rasanya melepaskan diri dari segala hal yang
sebnarnya tak pernah ingin kutinggalkan. Aku semakin tahu, masa lalu setidaknya
selalu jadi sebab. Kamu, yang dulu ku miliki tak lagi bisa ku genggam dengan
jemari.
Kita berpisah. tanpa alasan yang jelas, tanpa diskusi dan
intrupsi. Iya, berpisah, begitu saja. Seakan-akan semua hanyalah sepele, bisa
begitu mudah disentil oleh hentakkan kecil. Sangat mudah, sampai aku tak
benar-benar mengerti, apakah kita memang telah benar-benar berpisah? Atau dulu,
sebenarnya kita tak punya keterkaitan apa-apa. Hanya saja aku dan kamu senang
mendengungkan rasa yang sama, cinta yang dulu kita bela begitu manis berbisik. Lirih…dingin…memesona…
segala yang semu menggoda aku dan kamu, kemudian menyatulah kita, dalam rasa
(yang katanya) cinta.
Aku mulai berani melewati banyak hal bersamamu. Kita habiskan
waktu, dengan langkah yang sama, dengan denyut yang tak berbeda, begitu seirama…tanpa
cela, tanpa cacat. Sempurna. Dan, aku bahagia. Bahagia? Benarkah aku dan kamu
pernah merasa bahagia? Jika iya, mengapa kita memilih perpisaahan sebagai
jalan? Jika bahagia adalah jawaban, mengapa aku dan kamu masih sering
bertanya-tanya? Pada Tuhan, pada manusia lainnya, dan pada hati kita sendiri. Kenapa
harus kau ubah mimpi menjadi api? Mengaapa kau ubah pelangi menjadi bui? Mengapa harus kauciptakan luka, jika selama
ini kau merasa kita telah sampai dipuncak bahagia?
Kegelisahanku meningkat, ketika aku memikirkanmu, ketika aku
memikirkan pola makanmu, juga kesehatanmu. Aku bahkan masih mengkhawatirkanmu,
masih diam-diam mencari tahu kabarmu, dan aku
masih merasa sakit jika tahu sudah ada yang lain, yang mengisi kekosongan
hatimu. Seharusnya, aku tak perlu merasa seperti itu, kerana masa lalu, karena
kita tak terkait apa-apa lagi. Benar, akulah yang bodoh, yang tak memutuskan
diri untuk segera berhenti. Aku masih berjalan, terus berjalan, dengan menutup
mata yang tak ingin kubuka. Semuanya gelap, tanpamu… kosong.
Ternyata, hari berlalu dengan sangat cepat. Sudah setahun,
dan sudah terhitung lagi berapa frasa kata yang terucap untukmu didalam doa. Salahku,
yang terlalu perasa. Salahku, yang mengartikan segalanya dengan sangat berani. Kupikir,
dengan ikuti aturanku, semua akan semakin sempurna. Lagi dan lagi, aku salah,
dan kamu memilih untuk pergi. Ini juga salahku, karena tak mengunci langkahmu
ketika ingin menjauh.
Setelah perpisahan itu, hari-hari yang kualami masih sama. Aku
masih mengerjakan rutinitasku. Dan, aku mulai berusaha mencari penggantimu. Mereka
berlalu-lalang datang dan pergi, ada yang diam berlama-lama, ada yang ingin
singgah. Semua berotasi, berputar dan berganti. Namun, tak ada lagi yang sama,
kali ini semua berbeda. Tak ada kamu yang dulu, tak ada kita yang dulu. Ya,
semua kenangan memang berasal dari masa lalu tapi tetap punya tempat tersendiri
di hati yang sedang bergerak ke masa depan.
Hidupku tak lagi sama, dan aku masih berjuang untuk
melupakan sosokmu yang tak lagi terengkuh oleh pelukan. Padahal, aku masih
jalani hari yang sama, aku masih menjadi diriku, dan jiwaku masih lekat dengan
tubuhku. Tapi, masih ada yang kurang dan berbeda. Kesunyian ini bernama… tanpamu.
Jika jemari ditakdirkan untuk menghapus air mata, mengapa
kali ini aku menghapus air mataku sendiri? Dimanakah jemarimu saat tak bisa
kauhapuskan air mataku?
Selamat (gagal) satu tahun.
Jika kau rindukan kita yang dulu, akupun juga begitu.